Sejarah
Perpustakaan di Barat , Islam, dan di Indonesia
A.
Asal mula Perpustakaan
Perkembangan perpustakaan
tidak dapat dipisahkan di sejarah manusia karena perpustakaan merupakan produk
manusia. Dalam sejarahnya, manusia mula-mula tidak menetap sebagai mengembara
dari satu tempat ke tempat yang lain. Kehidupan seperti ini sering disebut
kehidupan nomaden. Manusia mencari makan dari alam sekitarnya, sedangkan untuk
keperluan ternaknya ia mencari sumber air serta rumput. Manusia mulai berusaha
menggarap lahan yang ada di sekitarnya, untuk keperluan daging manusia memburu
binatang yang ada di sekitarnya. Kehidupan berburu ini tidak beranjak jauh dari
kehidupan nomaden.
Dalam pengembarannya serta
dari kehidupan bertaninya, manusia memperoleh pengalaman bahwa bila dia memberi
tanda pada sebuah batu, pohon, papan, lempengan serta benda lainnya, ternyata
manusia dapat menyampaikan berita ke manusia lainnya. Pesan ini dipahatkan pada
batu atau pohon atau benda lainnya. Selama itu manusia berhubungan dengan
manusia lain melalui bahasa lisan maupun bahasa isyarat. Setelah menggunakan
berbagai tanda yang dipahatkan pada pohon ataupun batu ataupun benda lainnya,
manusia mulai berkomunikasi dengan kelompok lain melalui bahasa tulisan.
Adanya tulisan tersebut dapat
membantu daya ingat manusia daya ingat manusia kini manusia dapat melihat
“catatannya” pada pohon, batu, dan lempengan. Pesan dalam berbagai pahatan itu
dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Bila kegiatan memberi tanda pada
berbagai benda itu dilakukan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya
maupun dari suku satu ke suku lainnya maka banyak dugaan bahwa perpustakaan
dalam bentuknya yang sangat sederhana sudah mulai dikenal ketika manusia mulai
melakukan kegiatan penulisan pada berbagai benda. Benda itu dapat diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya ataupun dapat dibaca oleh suku lain.
Berdasarkan bukti arkeologis
diketahui bahwa perpustakaan pada awal mulanya tidak lain berupa kumpulan
catatan transaksi niaga. Dengan kata lain, perpustakaan purba tidak lain
merupakan sebuah kemudahan untuk menyimpan catatan niaga. Karena kegiatan
perpustakaan purba tidak lain menyimpan kegiatan niaga maka ada kemungkinan
bahwa perpustakaan dan arsip semula bersumber pada kegiatan yang sama untuk
kemudian terpisah.
Dari kegiatan itu, ternyata
bahwa sejak semula salah satu kegiatan perpustakaan ialah menyimpan produk
tulisan masyarakat sekaligus juga perpustakaan merupakan produk masyarakat
karena tak ada perpustakaan tanpa ada masyarakat.
1. Sebelum Masehi
Disebutkan diatas bahwa
manusia berusaha mencatat kegiatannya dengan cara memahatkannya pada kayu,
batu, dan lempengan. Lambat laun catatan itu dianggap kurang praktis karena
sulit digunakan dan sukar disimpan. Karena catatan pada batu atau lempengan
tanah liat itu dianggap kurang praktis, manusia berusaha menemukan alat tulis
yang lebih baik daripada alat tulis periode sebelumnya.
Pada sekitar tahun 2500
sebelum Masehi, orang Mesir mendapatkan sebuah temuan sederhana tapi memiliki
pengaruh besar bagi peradaban manusia, yaitu penemuan bahan tulis berupa
papyrus yang dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sepanjang sungai Nil.
Rumput tersebut dihaluskan dengan cara ditumbuk lalu diratakan, kemudian
dikeringkan dan digunakan untuk menulis dengan menggunakan pahatan dan tinta.
Dari kata papyrus itu berkembanglah istilah paper, papiere, papiros yang
berarti kertas. Penemuan kertas dari rumput papyrus ini dianggap penting bagi
manusia karena serat selulosenya merupakan landasan kimiawi bagi pembuatan
kertas zaman modern.
2. Sesudah Masehi
Hingga sekitar tahun 700-an
Masehi, papyrus masih digunakan sebagai bahan tulis, kemudian mulai digunakan
bahan lain seperti kulit binatang. Sekitar abad pertama Masehi, sejenis bahan
yang mirip dengan kertas yang kita gunakan saat ini telah ditemukan di Cina.
Namun karena pengetatan yang dilakukan penguasa Cina terhadap semua benda yang
keluar masuk dari Cina maka penemuan kertas itu tidak dikenal di Eropa hingga
tahun 1150-an.
Sebelum itu, Eropa
menggunakan kulit binatang sebagai bahan tulis, misalnya mereka membuat alat
tulis dari kulit kambing, domba, biri-biri, sapi, dan binatang lain yang
disebut parchmen. Parchmen sebenarnya berasal dari kata “pergamuan” sebuah kota
kecil di Asia Kecil tempat parchmen pertama kali digunakan. Parchmen digunakan
untuk bahan tulis sebelum kertas ditemukan. Bahan tulis lain disebut vellum,
tersebut dari kulit sapi atau kambing, digunakan untuk menulis dan menjilid
buku.
Karena Eropa Barat baru
mengenal kertas pada abad ke-12, sedangkan mesin cetak baru dikenal pada abad
ke-15 maka pengembangan perpustakaan berjalan lambat. Ketika kertas sudah
dikenal, sedangkan teknik pencetakan masih primitive, di Eropa Barat dikenal
sejenis terbitan bernama incunabula yang berarti buku yang dicetak dengan menggunakan
teknik bergerak (movable type) sebelum tahun 1501. Pengaruhnya bagi
perpustakaan adalah perpustakaan terutama di Eropa hanya menyimpan naskah
tulisan tangan lazim yang disebut “manuskrip”. Makrip ini umumnya berbentuk
gulungan, disebut scroll.
Di Eropa Barat sekitar tahun
1440 tatkala Johann Gutenberg dari kota Mainz, Jerman mencetak buku dengan tipe
cetak gerak. Setiap aksara dilebur ke dalam logam, kemudian dipindah ke dasar
mesin pres lalu diberi tinta. Kemudian ditaruh kertas di atasnya lalu digulung
dengan lempeng pemberat. Sejak penemuan Gutenberg ini (sebenarnya penemuan
untujk kawasan Eropa) pembuatan manuskrip yang semula ditulis tangan, kini
dapat digandakan dengan mesin cetak. Karena teknik pencetakan yang masih
sederhana ini maka hasilnya pun masih sederhana dibandingkan dengan buku
cetakan masa kini. Buku yang diterbitkan semasa ini hingga abad ke-16 dikenal
dengan nama incunabula.
Mesin cetak penemuan
Gutenberg kemudian dikembangkan lagi sehingga mulai abad ke-16 pencetakan buku
dalam waktu singkat mampu menghasilkan ratusan eksemplar. Hasilnya bagi
perpustakaan ialah terjadinya revolusi perpustakaan artinya dalam waktu singkat
perpustakaan diisi dengan buku cetak. Revolusi yang mirip sama terjadi hampir
400 tahun kemudian ketika buku mulai digantikan bentuk elektronik. Dari Jerman,
mesin cetak kemudian tersebar keseluruh Eropa, kemudian dibawa lagi ke Asia
tempat asal usul mesin cetak.
Mesin cetak yang
diasosiasikan dengan buku menimbulkan dampak sosial yang besar. Misalnya, bila
sebuah negara berada di bawah kekuasaan yang mutlak, berbagai pengarang menulis
buku dengan tujuan menentang tirani. Hal ini sering berakhir dengan pelarangan
buku yang menentang kekuasaan, alasan lain menulis buku ialah untuk mata
pencaharian. Banyak orang hidup hanya dari menulis buku saja. Misalnya, para
sastrawan dan penulis novel. Alasan lain menulis buku ialah melakukan
komunikasi formal antara penulis dengan pembacanya.
B. Sejarah Perpustakaan di Barat
Bibliotheca Alexandrina Egypt (Perpustakaan
Iskandariah Mesir) merupakan perpustakaan pertama dan terbesar di dunia.
Perpustakaan ini bahkan bertahan selama berabad- abad dan memiliki koleksi
700.000 gulungan papyrus, bahkan jika di bandingkan dengan Perpustakaan
Sorbonne di abad ke-14 ‘hanya’ memiliki koleksi 1700 buku. Perpustakaan ini di
dirikan oleh Ptolemi I sang penerus Alexander(Iskandariah) pada tahun 323 SM,
dan terus berlanjut sampai kekuasaan Ptolemi III.
Pada waktu itu para penguasa mesir begitu
bersemangat memajukan Perpustakaan dan Ilmu Pengetahuan mereka, bahkan dalam
Manuskrip Roma mengatakan bahwa sang Raja mesir membelanjakan harta kerajaan untuk
membeli buku dari seluruh pelosok negeri hingga terkumpul 442.800 buku dan
90.000 lainnya berbentuk ringkasan tak berjilid. Ia juga memerintahkan prajurit
untuk menggeledah setiap kapal yang masuk guna memperoleh naskah. Jika ada
naskah yang ditemukan, mereka menyimpan yang asli dan mengembalikan salinannya.
Menurut beberapa sumber, ketika Athena meminjamkan naskah-naskah drama klasik
Yunani asli yang tak ternilai kepada Ptolemeus III, ia berjanji membayar uang
jaminan dan menyalinnya. Tetapi sang raja malah menyimpan yang asli, tidak
mengambil kembali uang jaminan itu, dan memulangkan salinannya
Namun cerita keemasan ini hanya menjadi
sejarah. Ialah ketuka penaklukan bangsa Romawi yang di pimpin oleh Julius
Caesar pada tahun 48 SM. Bangsa Romawi membakar 400.000 buku musnah menjadi abu
using yang tak berguna. Dunia ilmu saat itu sangat berduka karena telah
kehilangan salah satu sumber ilmu pengetahuan terbaik saat itu. Namun akhirnya sang
Kaisar, Julius Caesar meminta maaf, dan sebagai gantinya ia mengirim Marx
Antonio untuk menghadiahkan 200.000 buku dari Roma kepada Ratu mesir saat itu,
Cleopatra, dan dari inilah kisah mereka berlanjut.
Namun perpustakaan megah yang ada di mesir
tersebut tak pernah kembali seperti masa masa keemasanya. Sejak pembakaran
tersebut, Perpustakaan Iskadariah solah tak terurus. Bahkan hampir menjadi
artefak –artefak kuno saja. Akan tetapi, UNESCO memprakarsai untuk bekerja sama
dengan pemerintah Mesir,membangun kembali perpustakaan dengan sejarah terbesar
dalam sejarah tersebut. Dan pembangunan ini di mulai sejak tahun 1990-an. Pembangunan
ini menghabiskan dana tak kurang dari US$ 220 juta. US 120 juta di tanggung pemerintah Mesir dan sisanya di tanggung dari bantuan Internasional
dari Negara-negara lain.
Akhirnya setelah terbengkalai hampir selama
20 Abad, Perpustakaan Iskandriah(Bibliotheca Alexandrina) berdiri megah dan
unik. Bangunan utama berbentuk bulat beratap miring, terbenam dalam tanah. Di
bagian depan sejajar atap, dibuat kolam untuk menetralkan suhupustaka , terdiri
lima lantai di dalam tanah, perpustakaan ini dapat memuat sekitar 8 juta buku.
Namun yang ada saat ini baru 250.000 buku
dan akan terus bertambah tiap tahun.Selain itu juga menyediakan berbagai
fasilitas, seperti 500 unit komputer berbahasa Arab dan Inggris untuk memudahkan
pengunjung mencari katalog buku, ruang baca berkapasitas 1.700 orang, conference
room, ruang pustaka Braille Taha Husein khusus tuna netra, pustaka anak-anak, museum
manuskrip kuno, lima lembaga riset, dan kamar-kamar riset yang bisa dipakai
gratis.
Dan yang juga menarik,adalah lantai tengah
perpustakaan tersebut terdapat Gallery Design dan bisa dilihat dari berbagai
sisi. Di lantai kayu yang cukup luas itu terpajang berbagai prototype mesin
cetak kuno dan berbagai lukisan dinding. Perpustakaan ini selalu dipenuhi pengunjung,
padahal di Alexandria tidak banyak universitas seperti di Kairo. Ini
menunjukkan tingginya minat baca masyarakat Mesir dan perpustakaan yang dulu
dihancurkan Julius Caesar itu kini menjadi salah satu objek wisata sebagaimana
Piramid Giza, Mumi, Karnax Temple, Kuburan para Firaun di Luxor atau Museum Kairo
yang menyimpan timbunan emas Tutankhamun.
Isi di perpustakaan tersebut mengandung:
a.
Sebuah
Perpustakaan yang dapat menampung jutaan buku.
b.
Sebuah
Arsip Internet
c.
Enam
khusus perpustakaan untuk
a)
Seni,
multimedia dan bahan-bahan audio-visual,
b)
tunanetra,
c)
anak-anak,
e)
microforms,
dan
f)
buku
langka dan koleksi khusus
d. Empat Museum untuk
a) Antiquities,
b) Naskah,
c) Sadat dan
d) Sejarah Sains
e. Planetarium A
f. Sebuah Exploratorium
untuk eksposur anak terhadap ilmu (ALEXploratorium)
g. Culturama: panorama budaya lebih dari sembilan
layar, yang pertama kalinya dipatenkan 9 proyektor sistem interaktif. Pemenang
banyak penghargaan, yang Culturama, dikembangkan oleh CULTNAT, memungkinkan
penyajian banyak lapisan data, dimana presenter dapat klik pada item dan pergi
ke tingkat baru detail. Ini adalah presentasi Multi media sangat informatif dan
menarik warisan di Mesir 5.000 tahun sejarah untuk zaman modern, dengan
highlights dan contoh-contoh dan Koptik Mesir Kuno / warisan Islam.
h. VISTA (The Virtual
Immersive Sains dan Teknologi Aplikasi sistem) adalah sebuah lingkungan Virtual
Reality interaktif, yang memungkinkan peneliti untuk mengubah data set ke dalam
dua dimensi simulasi 3-D, dan ke langkah di dalamnya. Sebuah alat praktis
visualisasi selama penelitian, VISTA membantu peneliti untuk mensimulasikan
perilaku sistem alam atau manusia rekayasa, bukan hanya mengamati sistem atau
membangun model fisik.
i. Delapan pusat
penelitian akademik:
a) Alexandria dan Pusat
Penelitian Mediterania (Alex-Med),
c) Kaligrafi Pusat,
d) Pusat Studi Khusus dan
Program (CSSP),
e) Sekolah Internasional
Studi Informasi (ISIS),
f) Naskah Pusat,
g) Pusat Dokumentasi
Budaya dan Warisan Alam (CultNat, terletak di Kairo), dan
h) Alexandria Pusat Studi
Helenistik.
j. Lima belas pameran
tetap meliputi
a) Tayangan dari
Aleksandria: Koleksi Awad,
b) Dunia Shadi Abdel
Salam,
c) Arabic Kaligrafi,
d) Sejarah Percetakan,
e) Arab-Muslim Abad
Pertengahan Instrumen Astronomi dan Sains (Penunggang Star), dan Pameran Tetap
Seleksi Seni Kontemporer Mesir:
f) Para Artis Buku,
g) Mohie El Din Hussein: A
Journey Kreatif,
h) Abdel Salam Idul Fitri,
i) The Raaya El-Nimr dan
Abdel-Ghani Abou El-Enein Koleksi Seni Rakyat Arab,
j) Seif dan lemah Adham:
Motion dan Seni,
k) Dipilih Artworks dari
Henin Adam,
l) Dipilih Artworks
Ahmed-Abdel Wahab,
n) Dipilih Artworks dari
Soliman Hassan, dan
o) Sculpture.
k. Empat seni galeri untuk
pameran temporer
l. Sebuah Pusat Konferensi
untuk ribuan orang
m. Sebuah Forum Dialog
yang memberikan kesempatan untuk pertemuan, dan diskusi dengan para pemikir,
penulis dan penulis untuk membahas berbagai isu penting yang mempengaruhi masyarakat
modern. Forum Reformasi Arab adalah hasil dari Konferensi Reformasi Arab pertama
diselenggarakan pada tahun 2004
C.
Sejarah perpustakaan Islam
Abad keemasan peradaban
muslim dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M. Masa
lima abad kekhalifahan Abbasiyah merupakan masa perkembangannya Islam. Pada
Dinasti ini kurang berminat penaklukan sebagaimana pada Dinasti Ummayah, tetapi
pada Dinasti Abbasiyah ini lebih berminat besar pada pengetahuan dan masalah
dalam negeri.
Hal tersebut terlihat
pada upaya besar penerjemahan dan menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban
lain. Dalam waktu tiga fase pada masa
dinasti Abbasiyah buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria, Sanskerta, Cina dan
Persia diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Fase pertama (132 H/750 M – 132 H/847
M), pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid yang banyak diterjemahkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi.
Fase kedua (232 H/847 M
– 334 H/ 945 M), pada masa khalifah al-Makmun buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga (334 H/
945 M – 347 H/ 1005 M), terutama setelah bidang-bidang ilmu yang telah
diterjemahkan semakin meluas, dimulailah untuk menyaring, menganalisis dan
menerima ataupun menolak pengetahuan dari peradaban lain. Seiring dengan
perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan munculnya karya-karya para ilmuan
dan berkembangnya produksi kertas yang sersebar luas, hal ini memberikan
dorongan besar pada gerakan pengumpulan naskah-naskah.
Keadaan ini berlangsung
ketika peradaban muslim dilanda perdebatan, dan buku-uku yang bersangkutan
menjadi kunci utama untuk menyampaikan gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan
merebaknya perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam.
Dinasti abbasiyah
terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur,
Khalifah Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah
yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya
khalifah-khalifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa
agama maupun umum, baik karya ilmuan muslim maupun non muslim, baik karya-karya
ilmuan yang semasanya maupun pendahulunya.
Hal ini terlihat jelas dari sikap-sikap
khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidah
merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga khalifah
al-Makmun yang menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya
untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilalukan pada
masa khalifah al-Makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
a. Sejarah Berdirinya
Perpustakaan Islam Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)
Baitul Hikmah di
Baghdad didirikan tahun 832 M pada masa Harun
al-Rasyid menjadi khalifah, kemudian diteruskan dan diperbesar oleh khalifah
al-Makmun. Pada perpustakaan ini bukan hanya berisi ilmu-ilmu dan buku-buku
agama Islam dan Bahasa Arab saja, bahkan juga bermacam-macam ilmu-ilmu dan
buku-buku umum lainnya dan juga dalam bahasa lainnya yang diterjemahkan kedalam
bahasa Arab.
Baitul Hikmah merupakan
perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya. Baitul Hikmah, sudah
dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan.
Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah
Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat
penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih
bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan.
Tujuan utama didirikannya Baitul
Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke
dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam, yaitu
menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada waktu itu pula
berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan
berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban
terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan
bantuan dari orang-orang yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Baitul Hikmah. Pada masa Makmun
inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa ini
Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India. Di
institusi ini al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli
di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah salah satu guru besar
di Baitul Hikmah.
Orang-orang Persia lain
juga diperkerjakan di Baitul Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah
adalah Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai
perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika.
Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di baghdad sebagai akademi
pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi ini yang pertama adalah
Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat
Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke dua.
b. Faktor-faktor Yang
Menyebabkab Berdirinya Lembaga Baitul Hikmah
Yang memotivasi
berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan meniru lembaga
hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians; yakni
gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi
kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif
menerjemahkan karya-karya yunani.
Dan juga yang menjadi motivasi lainnya dalam
pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
a) Melimpahnya kekayaan
negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Makmun terhadap ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, seperti ilmu filsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain, dan
juga kecintaannya terhadap seni musik. Bersatunya dana dengan keinginan
ini melahirkan sebuah pemikiran yang positif yaitu mengembangkan pendidikan
lebih maju lagi yang ternyata pemikiran ini mendapat sambutan yang positif dari
para pembantunya dan dari masyarakat.
b) Adanya apresiasi yang
tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan sosial)
terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu
satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan
etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini profesionalitas
dijunjung tinggi dengan sikap terbuka, sehingga tidak mengherankan jika waktu
itu orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali peranannya dan
saling bekerjasama. Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun yang
memerintahkan adalah khalifah orang muslim.
c. Aktivas dan Peran-peran
Perpustakaan Baitul Hikmah
Motif utama berdirinya
lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan
pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani,
Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah
seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke
Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya
kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan
penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
a) Suasana Persaingan
(prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya.
b) Keinginan untuk
menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki.
c) Dorongan ayat-ayat
Al-Qur’an (ajran Islam) tentang menuntut ilmu pengetahuan.
d) Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi dari
peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi.
Dengan
berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih
maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan
terbaiknya. Kemudian mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium
dengan tugas mencari karya-karya ilmuwan/filosof klasiknya. Melalui
kegiatan-kegiatan inilah pada akhirnya umat islam bisa mengembangkan
karya-karya kuno seperti Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain.
Pesatnya
perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas
peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a) Sebagai
pusat dokumentasi dan
pelayanan informasi keilmuwan bagi
masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan berdirinya perpustakaan di kota
Baghdad.
b) Sebagai pusat dan
forum kegiatan pengembangan
keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan
observatorium astronomi.
c) Sebagai pusat kegiatan
perencanaan dan pengembangan pelaksanaan pendidikan.
d. Gerakan Penerjemahan
Usaha penerjemahan
karya-karya ilmiah dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu dikepalai oleh
Hunain ibn Ishaq seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan
metode penerjemahan baru yaitu menterjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata
per kata, hal ini agar dapat memperoleh keakuratan naskah, Hunain juga
menggunakan metode penerjemahkan dengan membandingkan beberapa naskah untuk
diperbandingkan.
Hunain berhasil
menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab seperti buku kedokterann yang
dikarang oleh Paulus al-Agani. Dengan bantuan para penerjemah dari Baitul
Hikmah, Ia juga menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan kitab
Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. Penerjemahan buku-buku
ilmu kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara langsung dari bahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab.
Selain kota baghadad,
seperti Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat), Biasanya
naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum
ke dalam Bahsa Arab. Hal ini dikarenakan para penerjemah
biasannya adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami Bahasa Yunani.
Penerjemahan berjalan terus bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi
telah menjadi usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu.
Sebagian orang yang
cinta akan ilmu pengetahuan telah menafkahkan sebagian besar hartanya untuk
penerjemahan buku-buku baik itu dalam bahasa Yunani ataupun bahasa lainnya
kedalam bahasa Arab. Kegiatan kaum muslimin bukan hanya menerjemahkan,
bahkan mulai memberikan penjelasan-penjelasan pada naskah-naskah atau buku-buku
yang mereka terjemahkan.
e. Hal-hal yang
menyebabkan kemajuan intelektual
Kemajuan intelektual
pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut :
a) Terjadinya asimilasi
antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas,
bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat di
bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani
masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
b) Gerakan penerjemahan
berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga
Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemhkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300
H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu
yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada
masa itu sejarah peradaban Islam tepatnya pada Bani Abbasiyah terutama pada masa khalifah al-Makmun telah
berkembang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan. Umat Islam sesungguhnya
telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta
kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan
hidup.
Aktivitas
ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah mengantarkan dinasti ini
mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia, kedokteran,
filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi, sejarah,ilmu-ilmu agam
islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan, penyair, musisi, dan lain-lain
menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalanan sejarah Bani Abbasiyah telah mengubah
dan menoreh wajah dunia islam dalam pengembangan wawasan dan disiplin
keilmuwan.
f. Kejatuhan Kota Baghdad
dan Kehancuran Perpustakaan Baitul Hikmah
Faktor-faktor yang membuat
Baghdad menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikemukakan menjadi dua faktor
yaitu :
a) Faktor-faktor internal
(dalam pemerintahan itu sendiri), yaitu :
1) Adanya persaingan tidak
sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah terutama
Arab, Persia dan Turki.
2) Adanya konflik aliran
pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
3) Munculnya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
4) Kemerosotan ekonomi
akibat kemunduran politik.
b) Adapun faktor-faktor
Eksternal (ancaman/serangan dari luar), yaitu :
1)
perang salib yang terjadi dalam beberapa
gelombang.
2)
Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan
Hulagu Khan,
Kehadiran
dan serangan tentara Mongol inilah yang secara langsung menyebabkan kejatuhan
Daulah Abbasiyah dan kehancuran Baitul Hikmah di kota Baghdad, yaitu pada
kekhalifahan al-Mu’tashim yang menjadi penguasa terakhir bani Abbasiyah.
Serangan tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan adalah peristiwa yang
banyak menelan waktu dan pengorbanan, pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang
berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan mereka diporak-porandakan
dan dibakar.
Dalam
serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari dimulai dari bulan Muharram sampai
pertengahan Safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa, khalifah
al-Mu’tashim bersama anak-anaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol. Semua
kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di tempat
lainnya, guru-guru, imam-imam, pembaca-pembaca semuanya disapu habis, sehingga
berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong. Khalifah
al-Mu’tashim adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah terbunuh oleh
kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta mengakhiri pemerintahan Abbasiyah.
Dari
berbagai permasalahan internal diiringi dengan serangan eksternal yang dihadapi
Daulah Abbasiyah hingga kehancuran perpustakaan Baitul Hikmah, ini
mengakibatkan dampak yang sangat negatif
pada kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
D. Sejarah Perpustakaan di
Indonesia
Sejarah perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda
jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab. Jika kita mengambil pendapat
bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah
perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an yaitu saat lingga
batu dengan tulisan Pallawa ditemukan dari periode Kerajaan Kutai. Musafir
Fa-Hsien dari tahun 414 Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya
kerajaan Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan
buku atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta.
Pada sekitar tahun 695 M, menurut musafir I-tsing dari
Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1000 orang biksu dengan
tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha melalui berbagai buku yang tentu
saja disimpan di berbagai biasa.
Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan tersebut dimulai
pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan ini mulai dikenal
pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Karya-karya tersebut
seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama
Budha Mahayana. Menyusul kemudian Sembilan parwa sari cerita Mahabharata dan
satu kanda dari epos Ramayana. Juga muncul dua kitab keagamaan
yaituBrahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal
adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.
Dari uraian tersebut nyata bahwa sudah ada naskah yang
ditulis tangan dalam media daun lontar yang diperuntukkan bagi pembaca kalangan
sangat khusus yaitu kerajaan. Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa pujangga
dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang
bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh
juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu
ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kita
Kresnayana.
Semua kitab itu ditulis diatas daun lontar dengan
jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam lingkungan keraton. Periode
berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada periode ini tidak dihasilkan naskah
terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah
keruntuhan kerajaan Singosari. Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan
buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu
Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya
lain seperti Kidung Harsawijaya,Kidung Ranggalawe,
Sorandaka, dan Sundayana.
Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus
dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya,
jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta Pakualaman, Mangkunegoro,
Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa.
Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16
dan ke-17. Buku-buku tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi
Nusantara (25 jilid), Pustaka Praratwan (10 jilid), Pustaka
Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana (17 jilid),
Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42
jilid), Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka
prasasti (35 jilid), Serat Nitrasamaya antara ning raja-raja (18
jilid), Carita sang Waliya (20 jilid), dan lain lain. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Cirebon merupakan salah satu pusat perbukuan pada
masanya. Seperti pada masa masa sebelumnya buku-buku tersebut disimpan di
istana.
Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 membawa budaya
tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk tujuan menunjang
program penyebaran agama mereka. Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan
paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal
Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang
dibangun sejak 1624. Namun karena beberapa kesulitan perpustakaan ini baru
diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan pustakawan bernama Ds.
(Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah perpustakaan tidak lagi diperuntukkan
bagi keluarga kerajaan saja, namun mulai dinikmati oleh masyarakat umum.
Perpustakaan meminjamkan buku untuk perawat rumah sakit
Batavia, bahkan peminjaman buku diperluas sampai ke Semarang dan Juana (Jawa
Tengah). Jadi pada abad ke-17 Indonesia sudah mengenal perluasan jasa
perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut dengan pinjam antar perpustakaan
atau interlibrary loan). Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri
perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. Bersamaan
dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula perpustakaan lembaga BGKW.
Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut diprakarsai oleh Mr. J.C.M.
Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda).
Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk koleksi perpustakaannya.
Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog buku yang pertama di Indonesia
yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumquae Batavia
Florest Catalogue Systematicus hasil suntingan P. Bleeker. Edisi kedua
terbit dalam bahasa Belanda pada tahun 1848.
Perpustakaan ini aktif dalam pertukaran bahan
perpustakaan. Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran
adalah Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde,
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen,
Jaarboek serta Werken buiten de Serie. Karena prestasinya yang luar
biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah
menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Nama ini kemudian berubah menjadi Lembaga Kebudayaan
Indonesia pada tahun 1950.
Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan
kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanya pun diubah menjadi Museum
Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal
dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi
menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan
Museum Nasional.
Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke
Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika
Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Sesudah pembangunan BKGW, berdirilah perpustakaan khusus
lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga penelitian maupun lembaga
pemerintahan lainnya. Sebagai contoh pada tahun 1842
didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911
namanya berubah menjadiCentral Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het
Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi
menjadi Bibliotheca Bogoriensis.
Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat
Perpustakaan Penelitian Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan
Biologi dan Pertanian. Perpustakaan ini berubah nama kembali menjadi
perpustakaan ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan Komunikasi
Penelitian. Kini perpustakaan ini bernama Pusat Perpustakaan dan Penyebaran
Hasil-hasil Penelitian. Setelah periode tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda
menjalankan politik etis untuk membalas ”utang” kepada rakyat Indonesia. Salah
satu kegiatan politik etis adalah pembangunan sekolah rakyat.
Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia
Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan
rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan
umum.Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan
oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan
pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool. Volkschool artinya sekolah
rakyat yang menerima tamatan sekolah rendah tingkat dua. Perpustakaan ini
melayani murid dan guru serta menyediakan bahan bacaan bagi rakyat setempat.
Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan masyarakat umum dipungut bayaran untuk
setiap buku yang dipinjamnya.
Kalau pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksblibliotheken, maka
pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken yang
digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan
sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.
Tujuan Nederlandsche Volksblibliotheken adalah untuk memenuhi
keperluan bacaan para guru dan murid. Di Batavia tercatat beberapa sekolah
swasta, diantaranya sekolah milik Tiong Hoa, Hwe Koan, yang memiliki
perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan buku dari Commercial Press
(Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai).
Sebenarnya sebelum pemerintah Hindia Belanda mendirikan
perpustakaan sekolah, pihak swasta terlebih dahulu mendirikan perpustakaan yang
mirip dengan pengertian perpustakaan umum dewasa ini. Pada tahun awal tahun
1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah ini mungkin dapat diterjemahkan
dengan istilah ruang baca umum. Openbare leeszalen ini didirikan oleh
antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging,
dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.
Perkembangan Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia
dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti berdirinya sekolah tinggi,
misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan
kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di
Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte
Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924),
dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah
tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.
Pada jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan
komersial yang dikenal dengan namaHuurbibliotheek atau perpustakaan sewa.
Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang meminjamkan buku kepada kepada
pemakainya dengan memungut uang sewa. Pada saat itu tejadi persaingan
antaraVolksbibliotheek dengan Huurbibliotheek. Sungguhpun demikian
dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan.
Volksbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan
bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek lebih banyak
menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis,
buku remaja serta bacaan gadis remaja. Disamping penyewaan buku ter-dapat
penyewaan naskah misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897 mengelola
sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa Naskah juga
dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada umumnya dengan
biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada pembacanya supaya menangani
naskah dengan baik.
Disamping perpustakaan yang didirikan oleh Pemerintah
Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan yang didirikan oleh orang
Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro mendirikan perpustakaan keraton sedangkan
keraton Yogyakarta mendirikan Radyo Pustoko. Sebagian besar koleksinya adalah
naskah kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di
tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan perpustakaan
yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung penting
diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen.
Selama pendudukan Jepang openbare
leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan
lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada
gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi
perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari
Perpustakaan Nasional. Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin dapat
dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan baru.
Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan Yayasan Bung Hatta dengan koleksi
yang menitikberatkan kepada pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Indonesia.
Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele
Samenwerking, suatu badan kerjasama kebudayaan
antara pemerintah RI dengan pemerintah Negeri Belanda, diserahkan kepada
pemerintah RI. Kemudian oleh Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah
Politik dan Sosial Departemen P & K. Dalam rangka usaha melakukan
pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan
Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan Masyarakat
melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada periode ini juga lahir
perpustakaan Negara yang berfungsi sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di
Ibukota Propinsi.
Perpustakaan Negara yang pertama
didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952); Bandung
(1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957); Jakarta (1958);
Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan Surabaya (1959). Setelah
itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di Banjarmasin (1960); Manado (1961);
Kupang dan Samarinda (1964). Perpustakaan Negara ini dikembangkan secara lintas
instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan Departemen P & K
yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P & K yang membina secara
administratif, dan Pemerintah Daerah Tingkat Propinsi yang memberikan
fasilitas.
Perpustakaan pertama di Indonesia yang
tercatat adalah sebuah perpustakaan gereja di Batavia yang sesungguhnya telah
dirintis sejak tahun 1624 namun akibat berbagai kendala baru diresmikan pada 27
April 1643, bersamaan dengan pengangkatan pendeta Ds (Dominus) Abraham
Fierenius sebagai kepalanya. Pada masa itu layanan peminjaman buku yang
diselenggarakan perpustakaan gereja Batavia tersebut tidak hanya dibuka untuk
perawat rumah sakit Batavia, namun juga untuk pemakai yang berada di semarang
dan Juana. Setelah itu tidak terdapat catatan tentang keberadaan perpustakaan
di Indonesia untuk waktu yang cukup lama.
Perpustakaan di Indonesia yang tercatat
keberadaannya setelah itu adalah perpustakaan milik Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen. Perpustakaan ini didirikan pada 24 April 1778, semasa
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen berdiri atas prakarsa Mr J.C.M. Rademaker, ketua Raad van
Indie. Organisasi tersebut mengandalkan sumbangan dermawan serta bantuan
keuangan dari Raad van Indie.
Ketika VOC bubar tahun 1799,
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tetap beroperasi dengan
mengandalkan sumbangan dermawan dan gubernemen. Perpustakaan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen mengeluarkan katalog buku yang pertama
di Indonesia dengan judul Bibliotecae Artiumcientiarumquae Batavia Floret
Catalogue Systematicus, hasil suntingan P.Bleeker. Edisi kedua terbit tahun
1848 dengan judul dalam bahasa Belanda.
Karena dianggap berhasil dalam
memajukan ilmu pengetahuan, khususnya bahasa, ilmu bumi dan antropologi di
Hindia Belanda, dan mampu menerbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen serta Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land- en Volkenkunde secara teratur, maka pada tahun 1924 nama perhimpunan
tersebut mendapat tambahan Koninklijk, sehingga menjadi Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Perpustakaan Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen merupakan perpustakaan khusus karena koleksinya
bersifat khusus serta pemakainya terbatas pada peneliti. Ketika pemerintah
Belanda meluncurkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur stelsel) muncullah perkebunan
dan balai penelitian bidang pertanian. Sistem Tanam Paksa secara tidak langsung
mendorong pendirian perpustakaan penelitian bidang pertanian serta tumbuhnya
majalah pertanian di Indonesia. Salah satu perpustakaan pertanian yang paling
tua serta masih sintas sampai saat ini ialah Bibliotheek’s Lands Plantentuin te
Buitenzorg yang didirikan pada tahun 1842. Pada tahun 1911 namanya diubah
menjadi Centra Natuurwetenschappelijke Bibliotheek van het Departement van
Landbouw, Nijverheid en Handel. Nama tersebut kemudian diubah lagi menjadi
Biblioteca Bogoriensis.
Pemberlakuan Tanam Paksa membawa
keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda namun membawa kesengsaraan bagi
rakyat Indonesia. Terjadi bencana kelaparan di berbagai tempat, misalnya di
Purwodadi. Berbagai kesengsaraan yang dialami bangsa Indonesia tersebut
menimbulkan kritikan pedas dari kalangan Parlemen Belanda disertai tuntutan
untuk membalas hutang budi penduduk Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian menerapkan kebijakan hutang budi yang diwujudkan dalam bentuk Etisch
Politiek (Politik Etis), terdiri dari irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Dalam kaitannya dengan edukasi,
pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi pribumi yang dinamakan
volkschool (sekolah rakyat), yang menerima tamatan sekolah rendah angka dua
(ongko loro). Perpustakaan pada volkschool disebut Volksbibliotheek dengan
koleksi dipasok oleh Volkslectuur Perpustakaan pertama di Indonesia yang
tercatat adalah sebuah perpustakaan gereja di Batavia yang sesungguhnya telah
dirintis sejak tahun 1624 namun akibat berbagai kendala baru diresmikan pada 27
April 1643, bersamaan dengan pengangkatan pendeta Ds (Dominus) Abraham
Fierenius sebagai kepalanya. Pada masa itu layanan peminjaman buku yang
diselenggarakan perpustakaan gereja Batavia tersebut tidak hanya dibuka untuk
perawat rumah sakit Batavia, namun juga untuk pemakai yang berada di semarang
dan Juana. Setelah itu tidak terdapat catatan tentang keberadaan perpustakaan
di Indonesia untuk waktu yang cukup lama.
Perpustakaan di Indonesia yang
tercatat keberadaannya setelah itu adalah perpustakaan milik Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Perpustakaan ini didirikan pada 24
April 1778, semasa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berdiri atas prakarsa Mr J.C.M.
Rademaker, ketua Raad van Indie. Organisasi tersebut mengandalkan sumbangan
dermawan serta bantuan keuangan dari Raad van Indie.
Ketika VOC bubar tahun 1799,
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tetap beroperasi dengan
mengandalkan sumbangan dermawan dan gubernemen. Perpustakaan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen mengeluarkan katalog buku yang pertama
di Indonesia dengan judul Bibliotecae Artiumcientiarumquae Batavia Floret
Catalogue Systematicus, hasil suntingan P.Bleeker. Edisi kedua terbit tahun
1848 dengan judul dalam bahasa Belanda.
Karena dianggap berhasil dalam
memajukan ilmu pengetahuan, khususnya bahasa, ilmu bumi dan antropologi di
Hindia Belanda, dan mampu menerbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen serta Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land- en Volkenkunde secara teratur, maka pada tahun 1924 nama perhimpunan tersebut
mendapat tambahan Koninklijk, sehingga menjadi Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Perpustakaan Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen merupakan perpustakaan khusus karena koleksinya
bersifat khusus serta pemakainya terbatas pada peneliti. Ketika pemerintah
Belanda meluncurkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur stelsel) muncullah perkebunan
dan balai penelitian bidang pertanian. Sistem Tanam Paksa secara tidak langsung
mendorong pendirian perpustakaan penelitian bidang pertanian serta tumbuhnya
majalah pertanian di Indonesia. Salah satu perpustakaan pertanian yang paling
tua serta masih sintas sampai saat ini ialah Bibliotheek’s Lands Plantentuin te
Buitenzorg yang didirikan pada tahun 1842. Pada tahun 1911 namanya diubah
menjadi Centra Natuurwetenschappelijke Bibliotheek van het Departement van
Landbouw, Nijverheid en Handel. Nama tersebut kemudian diubah lagi menjadi
Biblioteca Bogoriensis.
Pemberlakuan Tanam Paksa membawa
keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda namun membawa kesengsaraan bagi
rakyat Indonesia. Terjadi bencana kelaparan di berbagai tempat, misalnya di
Purwodadi. Berbagai kesengsaraan yang dialami bangsa Indonesia tersebut
menimbulkan kritikan pedas dari kalangan Parlemen Belanda disertai tuntutan untuk
membalas hutang budi penduduk Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menerapkan kebijakan hutang budi yang diwujudkan dalam bentuk Etisch Politiek
(Politik Etis), terdiri dari irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Dalam kaitannya dengan edukasi, pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi pribumi yang dinamakan volkschool
(sekolah rakyat), yang menerima tamatan sekolah rendah angka dua (ongko loro).
Perpustakaan pada volkschool disebut Volksbibliotheek dengan koleksi dipasok
oleh Volkslectuur kelak berubah menjadi Balai Pustaka).
Volksbibliotheek melayani bacaan bagi
guru, murid dan penduduk sekitar sekolah. Pelayanan untuk penduduk sekitar ini
merupakan langkah maju karena dengan demikian perpustakaan sekolah sudah
terlibat dalam kegiatan komunitas, sesuatu yang baru dilancarkan UNESCO enam
puluh tahun kemudian. Murid dan guru tidak dipungut bayaran , sedangkan
komunitas setempat harus membayar 2,5 sen untuk dua buku yang dipinjam selama
dua minggu. Karena volkschool berada di bawah wewenang Kantor Pendidikan, maka
secara berkala inspektur sekolah memeriksa perpustakaan yang mencakup
inventaris perpuustakaan serta data peminjaman.
Untuk Volksbibliotheek Jawa artinya
volkschool yang berada di lingkungan etnik Jawa, pemerintah Hindia Belanda
menyediakan 417 judul buku berbahasa Jawa serta 282 buku berbahasa Melayu.
Untuk Volksbibliotheek Sunda, pemerintah Hindia Belanda menyediakan 291 judul
buku berbahasa Sunda serta 282 buku berbahasa Melayu. Untuk Volksbibliotheek
Madura disediakan 67 judul buku dalam bahasa Madura serta 282 judul dalam
bahasa melayu,. Untuk Volksbibliotheek Melayu, setiap perpustakaan sekolah
memperoleh 328 judul buku berbahasa melayu.
Pada zaman Hindia Belanda sebenarnya
tidak ada perpustakaan umum yang didanai oleh anggaran pemerintah. Perpustakaan
umum justru didirikan oleh pihak swasta. Perpustakaan umum yang didirikan oleh
swasta disebut openbare leeszalen, artinya ruang baca terbuka atau ruang baca
(untuk) umum. Adapun lembaga yang mendirikan openbare leeszalen adalah Gereja
Katolik, Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging dan Maatschappij tot
Nut van het Algemeen.
Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah
mendirikan universitas dalam arti sesungguhnya. Yang mereka dirikan ialah
semacam sekolah tinggi. Justru yang pertama kali berdiri ialah Technische
Hoogeschool yang didirikan pada tahun 1918 dan kemudian resmi menjadi sekolah
tinggi pada tahun 1920. School tot Opleiding voor Indische Aarts (STOVIA) di
Surabaya, Rechts Hogeschool di Batavia (1924) serta Geneeskunde Hogeschool di
Batavia (1927), Faculteit van Landbouw Wetenschapen en Wijsgebeerte di
Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1941 dan terakhir Faculteit van Letterkunde di
Batavia (1941).
Kesemuanya memiliki semacam
perpustakaan fakultas. Ketika pemerintah Indonesia membentuk Universiteit
Indonesia tahun 1950, kesemua sekolah tinggi dan faculteit itu berubah menjadi
fakultas. Penyatuan itu yang menyebabkan perpustakaan perguruan tinggi di
Indonesia dimulai dari perpustakaan fakultas baru menyatu menjadi perpustakaan
universitas.
Pada zaman sebelum perang (1942)
Indonesia mengenal perpustakaan sewa, disebut huurbibliothek. Pada awalnya
openbare leeszalen dengan huurbibliotheek sering “bersaing” dalam memenuhi
kebutuhan bacaan pemakainya, kemudian secara alamiah terjadi penjurusan yang
berbeda. Bila openbare leeszalen lebih banyak menyediakan bacaan ilmiah dan
ilmiah populer, maka huurbibliotheek cenderung menyediakan bacaan berupa roman
dalam bahasa Belanda, Inggris dan Prancis serta buku untuk remaja.
Huurbibliotheek terdapat di Batavia,
Soerabaia, Malang, Jogjakarta, Madioen dan Solo, dikelola oleh penerbit forma
G. Kolff & Co. Toko buku Visser mendirikan huurbibliotheek di Bandoeng.
Huurbibliotheek lainnya ialah Viribus Unitis di Batavia, C.G. van Wijhe di
Soerabaia serta Leesbibliotheek Favoriet di Batavia. Lazimnya ketiga
perpustakaan sewa yang disebut terakhir ini menyediakan bahan bacaan yang
dibeli dari pedagang buku loakan serta berbagai roman kuno yang dibeli dari
tangan kedua sehingga peranan mereka dalam persewaan buku tidaklah maknawi.
Di samping persewaan buku, ada juga
persewaan naskah di Batavia yang diselenggarakan oleh penulis Moehammad Bakir
tahun 1897 yang mengelola sebuah perpustakaan sewa naskah di Pecenongan. Naskah
disewakan bagi umum dengan imbalan sekitar 10 sen per malam disertai himbauan
agar jangan terkena ludah sirih atau minyak lampu teplok! Perpustakaan serupa
terdapat juga di Palembang dan Banjarmasin.
Masih ada perpustakaan lain, yaitu
yang didirikan oleh kraton, misalnya perpustakaan Radyo Poestoko di Yogyakarta
dan perpustakaan serupa di lingkungan Mangkunegaraan, Surakarta. Di pulau
Penyengat sekitar akhir abad 18 diketahui adanya sebuah perpustakaan umum yang
didirikan oleh penguasa setempat.
Pada zaman pendudukan Jepang tidak ada
kegiatan kepustakawanan, karena Jepang mengerahkan semua tenaga untuk keperluan
mesin perang. Pada awal kekuasaannya, Jepang melarang peredaran buku berbahasa
Belanda, Inggris dan bahasa Eropa lainnya. Semua sekolah tinggi ditutup. Baru
ketika Jepang mulai terdesak beberapa sekolah tinggi dibuka kembali, untuk
keperluan Jepang.
Akhirnya Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia didirikan di Jakarta dan Rijksmuseum di Amsterdam sejak
tahun 1995 telah memulai adanya kerjasama dalam pelestarian warisan budaya
bangsa. Pada tahap pertama dikhususkan pada gambar-gambar yang dibuat oleh
Johannes Rach (1720-1783). Koleksi yang dimiliki Perpustakaan Nasional RI
sebanyak 202 buah gambar merupakan jumlah terbesar dari seluruh gambar Rach
yang merekam peristiwa penting di Indonesia dan beberapa negara di Asia.
Sebagai salah satu museum terbesar di negeri Belanda, Rijkmuseum juga memiliki
gambar Johannes Rach yaitu sebanyak 40 buah gambar. Agar dapat didayagunakan
oleh masyarakat luas kedua pihak telah menjajaki kemungkinan untuk mengumpulkan
koleksi tersebut dan dipublikasikan dalam bentuk pameran maupun terbitan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, riski.13-04-2014.sejarah perpustakaan islam betul hikmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar